Sabtu, 28 Februari 2009

Indonesia

Kritik untuk Sistem Pendidikan Indonesia


Menarik sekali membaca tulisan Adi W. Gunawan berjudul Born to be a Genius but Conditioned to be an Idiot dan Sekolah Dirancang Untuk Menghasilkan Orang-orang Gagal. Kedua tulisan ini benar-benar bisa menggambarkan mengapa sistem pendidikan sekolah di Indonesia tidak bisa menghasilkan SDM yang diharapkan. Saya sendiri sering berdiskusi mengenai hal ini bersama teman-teman sejawat, waktu itu saya hanya punya keyakinan bahwa kegagalan sistem pendidikan di Indonesia karena terlalu banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai selama 12 tahun sekolah. Selain itu juga mutu guru yang lebih memilih metoda “menanamkan rasa takut” kepada siswa-siswinya agar mau belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah. Selebihnya adalah kurangnya praktek di kelas dasar dan menengah mengenai bagaimana berbicara dan mengemukakan pendapat dengan baik dan benar.

Saya ingat betul ketika membahasa mengenai kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam pelajaran sejarah di SMA. Saat itu saya hanya mempermasalahkan dua hal dan ingin sekali berdiskusi mengenai hal itu. Pertama, saya katakan apa alasannya Pangeran Diponegoro itu bisa masuk dalam kategori pahlawan nasional kalau toh motivasi perjuangan yang dia lakukan ternyata hanya gara-gara pembangunan rel kereta api yang melewati tanah makam leluhurnya. Yang kedua, bagaimana nasib proyek pembangunan rel kereta api tersebut setelah perang diponegoro selesai, apakah dilanjutkan atau tidak. Jawaban dari guru sungguh mengecewakan, dan ketika saya debat hasilnya adalah: saya dikeluarkan dari kelas karena katanya saya mengacaukan pelajaran sejarah :(

Atau ketika saya berpendapat dalam “kursus singkat P4″ mengenai pemberontakan G30S/PKI. Yang saya tanyakan dan ingin diskusikan waktu itu adalah masalah kebenaran sejarah. Saya bilang dengan mengutip apa yang dikatakan Napoleon yang kurang lebih bunyinya (persisnya saya sudah lupa), “Sejarah itu hanyalah sebuah kesepakatan yang dibuat oleh pihak yang menang”. Jawaban yang diberikan –lebih tepat disebut ancama– adalah”, Kamu akan saya buat tidak lulus P4 kalau tetap ngeyel mempermasalahkan hal tersebut!” Semenjak itu pula yang saya lakukan hanyalah mendengar dan menulis pelajaran P4 yang disampaikan … hiks.

Banyak sekali hal-hal yang membuat saya tidak puas dengan sistem pendidikan di Indonesia. Misalnya dengan pelajaran matematika yang ternyata menurut Adi W. Gunawan, dan saya setuju, sangat penting dalam pembangunan konsep diri. Tetapi yang terjadi adalah rasa takut kepada guru matematika yang secara umum terlihat “kejam.” Matematika bukannya dibuat menjadi pelajaran yang menarik tetapi lebih kepada sesuatu yang harus dipelajari dengan pola ditaktor.

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan, baik dari pengalaman pribadi ketika saya mengecap pendidikan maupun setelah saya membaca kedua artikel karya Adi W. Gunawan diatas.

1. Pelajaran yang paling dan sangat penting untuk anak diawal masa sekolahnya sebenarnya hanyalah 3M, yaitu membaca, menulis dan menghitung. Pelajaran lain ditambah ketika 3M sudah dikuasai dengan baik benar.
2. Janganlah terlalu membebani anak sekolah (khususnya SD) dengan mata pelajaran yang sudah banyak itu dengan hasil akhir yang harus bagus semua. Yang paling penting menurut saya adalah matematika dan bahasa ditambah dengan pelajaran moral (tidak harus Pancasila). Karena kita juga tidak mengharapkan orang pintar yang tidak memiliki moral.
3. Penjurusan mulai dilakukan lebih awal, tidak di kelas 2 SMA seperti saat ini, tetapi dimulai sejak SMP. Jadi, ketika seseorang menginjak bangku SMA, dia seharusnya sudah dijuruskan sesuai bakat yang dimiliki. Disinilah peran seorang guru, khususnya guru BP.
Semasa saya SMA sich guru BP kerjanya hanya melerai kalau ada perkelahian, dan saya donkol sekali ketika saya ditertawakan karena ketika ditanya apa cita-cita saya dan saya menjawab ingin jadi presiden
4. Harus ditanamkan bahwa penjurusan dibuat bukan didasari oleh kecerdasan seorang siswa. Hingga kini saya masih merasakan adanya image bahwa yang dijuruskan ke IPA adalah orang-orang pintar dengan nilai rapor yang bagus. Yang agak lemah otaknya di IPS saja. Apakah begitu ? Saya kira dan saya yakin baik IPA dan IPS bukan masalah kecerdasan, tetapi masalah minat dan bakat.
5. Peraturan pendidikan juga harus adil ketika pelajar lulus dari SMA. Jangan sampai, lulusan IPA bisa mengambil jatah kuliah anak-anak lulusan IPS, tetapi lulusan IPS tidak bisa mengambil jatah kuliah lulusan IPA. Nggak fair sama sekali!
6. Sejak mulai SMP, guru-guru harus lebih menanamkan bahwa mata pelajaran itu seharusnya dimengerti, bukan dihapalkan. Tentunya, guru-guru juga harus bisa mengimplementasikannya dalam kegiatan mengajar seperti jangan membuat soal-soal ulangan yang jawabannya adalah hapalan dsb.
Memang, saya juga mengalami sendiri, bahwa pelajaran 12 tahun itu lebih kepada pelajaran menghapal dibandingkan pelajaran untuk dipahami dan dimengerti.< /i>
7. Hilangkan sistem ranking. Saya cenderung hanya memilih satu orang yang terbaik untuk setiap kelas. Rangking hanyalah membuat orang semakin tidak percaya diri (khusunya bagi mereka yang mendapat rangking-rangking akhir) dan hal ini akan memancing mereka untuk membuat perkumpulan anak-anak pintar dan anak-anak bodoh.
8. Terakhir, cobalah untuk memberikan pendidikan kepada siswa agar berani berbicara, mengemukakan pendapat baik lisan maupun tulisan dengan baik dan benar. Ini sangat penting untuk kehidupan mereka dimasa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar